News and Announcements

Selasa, 05 Maret 2019

Distorsi Akustik: “Intoleransi di Negeri ini Sudah Jadi Penyakit!”

Mereka, DISTORSI AKUSTIK namanya, tidak terlalu peduli ditempatkan di genre apa untuk musik yang mereka
mainkan. Kadang-kadang diletakkan sebagai band indie-pop, esoknya main di ranah brit-pop, dan lusa sudah melintang di area post-grunge.  Dan betul, persetan dengan genre apa mereka disebut. Sumpah, saya tak mengenalnya sebelum terlibat salah satu kompilasi “ambisius”  MUSIKINI Vol.1, dimana band –yang ternyata termasuk lawas di skena musik indie Semarang—menjadi salah satu termasuknya.
Dan kemudian, band berawak Viko [vokal] Ragil [drum], Bahar [gitar], Adi [bass], dan Hersa [gitar] yang terbentuk tahun 2009 ini, “mengganggu” kami, bukan melulu pada musiknya, tapi lirik dan pemikirannya yang tidak lazim. Paling tidak di fase yang ‘sektarianisme musikal’ makin mengemuka.
Benar-benar tanpa sensor, kalau kemudian saya membedah otak mereka dengan sederet pertanyaan tajam. Mereka –personelnya—menyebut wawancara ini: “Seperti sidang disertasi Mas”. Dan band yang selalu menyebut dirinya ‘buruh berkedok musisi’  dan sudah merilis satu album bertajuk ‘PU7I UTOMO’ ini, menyodorkan jawaban atas pertanyaan. Jawaban menarik? Bodoh atau malah ngalor-ngidul?  Simak saja:
Marah, menyindir atau sekadar memberi catatan kritis lewat musik, sebenarnya sudah makin jarang dilakukan musisi di era yang lebih bebas ini. Kalian masih melakukannya lewat lirik-lirik yang berpihak kepada sisi lain dunia mainstream. Target apa yang kalian sasar ketika berbicara “menyimpang” itu? Sekadar menjadi pembeda?
Tidak jarang juga, mungkin tidak terekspose saja. Banyak musisi kritis yang tetap kukuh menyuarakan apapun sebagai kritik itu sendiri. Buat kami, tidak peduli lagi akan tampak beda atau tidak, keren atau tidak, makin jarang atau masih sering. Kami hanya melihat bahwa di sekitar kita banyak hal yang sebenarnya tidak baik-baik saja, sementara kebanyakan orang malah melihatnya sebagai hal yang biasa-biasa saja. Hal tersebut jika dibiarkan saja, anak cucu kelak akan hidup dalam dunia yang tentu saja semakin tidak baik-baik saja. Dan kemudian ketika kami bertemu dengan pertanyaan seperti ini, kami akan menjawab bahwa kami hanya ingin berkontribusi terhadap perubahan dunia yang lebih baik bagi kehidupan manusia sekarang dan bagi kehidupan anak cucu kelak hari. Sesederhana itu.
Eksistensi dan konsistensi jadi hal penting di dunia hiburan. Apakah Anda punya antibodi untuk bisa eksis dan bertahan, syukur-syukur bisa memberi diferensiasi kepada pecinta musik Indonesia?
Eksistensi dan konsistensi menjadi hal penting dalam dunia hiburan itu sudah sejak lama, bukan hanya sekarang saja. Eksistensi dan konsistensi, apalagi dalam hal penciptaan karya, adalah penanda sekaligus pengingat bagi kami sendiri untuk tetap mempunyai ketulusan besar dalam bermusik. Kami bertahan untuk bermusik bukan karena terpaksa, kami tetap bermusik karena kami benar-benar mencintai musik. Musik itu telah memberi warna bagi kehidupan manusia bahkan sejak dulu kala ketika peradaban manusia baru dimulai. Musik itu bisa menjadi bahasa, dan bahasa sendiri adalah salah satu pilar penting peradaban manusia. Setiap musisi yang lainpun kami percaya juga merasakan hal yang sama, terlepas apapun tujuan mereka dalam bermusik itu sendiri.

“Karya seni yang bagus itu menawarkan nilai-nilai kebenaran.”

Bagaimana dengan pernyataan bahwa memberi catatan kritis lewat musik itu sebenarnya hanya “onani musikal” saja, karena hanya sebenarnya memberi pengaruh dan perubahan sedikit saja?
Begini, jika keinginan memainkan musik dan bersikap kritis itu bisa dikorelasikan dengan hasrat, maka silahkan jika kamu menyebutnya sebagai “onani”. Seperti yang kami paparkan dalam jawaban pertanyaan pertama, kami hanya ingin berkontribusi terhadap perubahan dunia yang lebih baik bagi kehidupan manusia. Mungkin tidak akan merubah jalannya dunia, tapi paling tidak kami melakukan sesuatu ketika melihat banyak hal di sekitar kami, yang kami pikir bukanlah hal yang benar bagi kehidupan kita sebagai manusia. Kami menolak menjadi bagian dari generasi yang hanya menggerutu saja ketika dunia mulai menekan mereka. Budaya kritis harus diiringi dengan tindakan, laku kritik dalam laku hidup. Kritik, tidak akan merubah apa-apa jika tidak disertai aksi nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika membuat album ini, pemikiran apa yang sedang ingin kalian tumpahkan? Karena secara emosi, pasti personilnya tidak selalu punya emosi yang sama bukan?
Iya, tentu saja emosi tiap personil berbeda-beda. Tapi ketika pertanyaannya adalah tentang apa pemikiran kami ketika membuat album ini adalah : kami ingin memainkan musik dengan muatan tekstual lirik yang mampu menginspirasi manusia-manusia lainnya untuk ikut terlibat aktif mengritisi segala hal dalam kehidupan sekitar sehari-hari, yang mulai berjalan dalam koridor ketidak-benaran. Distoleransi adalah salah satu penyakit yang menakutkan menggerogoti setiap lini kehidupan manusia sehari-harinya, hal tersebut adalah salah satu yang kami kritisi dengan sepenuh hati.
Album baru nanti,  kabarnya akan mengusung filosofi Jawa [atau Kejawen?]. Bagaimana kalian menerjemahkan filosofi itu supaya tak sekadar jadi catatan lirik, tapi malah tak ternikmati dengan baik oleh pendengarnya? Bisa sedikit diceritakan apa dan bagaimana kalian mengejawantahkannya dalam sebuah komposisi yang berkata-kata dengan jujur?
Iya, benar. Album kedua kami nanti masih mengangkat filosofi jawa, sama seperti EP pertama kami, Pu7ie Utomo. Dalam konteks filosofi Jawa, hari itu ada 7, dan 7 (Pitu) berarti PITUTUR, PITUDUH, PITULUNGAN, PITUNGKAS. Sama seperti penciptaan dunia. Seperti yang tertulis di Al kitab maupun Al Q’uran. Pun di rilisan mini album kedua nanti, akan ada 5 track di sana. Sama halnya jumlah hari pasaran di penanggalan jawa. Wage, Pon, Pahing, Kliwon, dan Legi.
Apa sebenarnya penjelajahan kalian di musik? Apa kesalahan dan kemarahan terbesar kalian di musik?
Kemarahan dan kegelisahan kami bukan pada musik, justru lewat musiklah kami menyuarakan kemarahan dan kegelisahan kami. Jika berbicara tentang apa yang paling membuat kami marah, adalah tentang keadaan dunia dan pola kehidupan manusia yang menurut kami sendiri, makin kesini semakin merusak alam tempat kita tinggal. Bukankah kita manusia sekarang ini seharusnya mewariskan dunia yang lebih baik untuk tempat tinggal anak cucu kelak?
Persepsi kalian akhirnya mengerucut pada Musik untuk Musik atau Musik Mematikan Musik, khususnya di level industri seperti sekarang?
Musik untuk musik. Bagaimana bisa musik dimatikan? dengan fatwa “haram”-kah? Musik sendiri sudah menjadi bagian dari kehidupan dan akan selalu begitu. Mengenai industri musik itu sendiripun akan selalu begitu. Tidak ada yang dimatikan, hanya mencari bentuk-bentuk baru dalam kemasan dan strategi yang relevan oleh zaman. Bukankah musik memang selalu mengiringi perjalanan zaman dari waktu ke waktu? Musik sudah memberikan kontribusi terhadap perubahan dunia bahkan sejak era rilisan fisik hingga era digital sekarang ini.
Bagaimana mempertahankan kemurnian genre yang sudah kalian pilih, sementara lingkungan musikal kalian sering memaksa untuk berubah?
Bagi kami bermusik itu erat kaitannya dengan idealisme. Dan idealisme pasti berasal dari hal-hal yang telah kami dengar, baca, ataupun lihat, dan kemudian menginpirasi kami sebagai panduan pola sikap dan berpikir. Kami hanya memainkan musik yang kami suka dan tetap akan begitu seterusnya. Kami tidak begitu memikirkan apa pendapat orang-orang tentang musik kami, tapi bukan berarti kami anti kritik. Referensi musik yang kami dengarkan memang berubah dari waktu ke waktu dan memang, hal itu berpengaruh terhadap musik yang kami mainkan. Tapi sekali lagi, kami hanya akan memainkan musik yang kami suka. Kami tidak akan memainkan musik yang hanya akan membuat kami merasa terpaksa memainkannya hanya karena orang-orang yang lain suka musik tersebut.

Bagaimana bisa musik dimatikan? dengan fatwa “haram”-kah?”

Sejujurnya, band kalian ini lebih kepada Eksistensialis diri, Mempersiapkan diri dalam ranah Materialis atau sekadar Dialektika Kegelisahan saja?
Kami bermusik karena kami benar-benar mencintai musik. Kami ingin memainkan musik dengan muatan tekstual lirik yang mampu menginspirasi manusia-manusia lainnya untuk ikut terlibat aktif mengkritisi segala hal dalam kehidupan sekitar sehari-hari yang mulai berjalan dalam koridor ketidak-benaran. Distoleransi adalah salah satu penyakit yang menakutkan menggerogoti setiap lini kehidupan manusia sehari-harinya, hal tersebut adalah salah satu yang kami kritisi dengan sepenuh hati. Kami melihat bahwa di sekitar kita banyak hal yang sebenarnya tidak baik-baik saja, dan kebanyakan orang malah melihatnya sebagai hal yang biasa-biasa saja. Hal tersebut jika kita biarkan saja, anak cucu kita kelak akan hidup dalam dunia yang tentu saja semakin tidak baik-baik saja. Sesederhana itu.
Banyak musisi yang menggadang-gadangnya dirinya bakal besar karena merasa punya kualitas. Padahal ternyata tidak sehebat yang dibayangkan. Kalau kalian sendiri melakukan pembelajaran apa untuk memberi nilai lebih kepada musikalitas kalian?
Sepanjang hidup adalah pembelajaran, sama halnya pada musik. Dan kamipun masih belajar, belajar dari banyak hal yang mungkin saja terlupakan, dari hal-hal yang kami dengar dan lihat dalam sepanjang perjalanan hidup kami.
Banyak lirik band sekarang, yang bicara fatamogana. Terlihat nyata, tapi implementasi dari penulis dan musisinya sendiri nol besar. Bagaimana kalian mensinergikan kata-kata yang kalian tulis dengan way of life yang kalian pilih? Akhirnya, apa “agama” kalian di musik?
Kalau tentang band lain yang menulis lirik yang bagaimana dan kemudian pola hidup mereka sehari-hari juga yang bagaimanapun, kami tidak akan mencampurinya selama itu tidak menyakiti atau merugikan manusia yang lainnya. kedengarannya mungkin berlebihan, tapi yang menjadi panduan kami dalam bermusik adalah semua nilai-nilai kebenaran yang ada dalam kehidupan kita, manusia. Kebenaran itu seharusnya diperjuangkan untuk selalu berjalan bersama dengan zaman demi melawan segala penderitaan. Semua penderitaan, asalnya, dari segala ketidak-benaran.
Teguh Karya almarhum [sutradara –red] pernah bilang, kesenian yang tidak jujur itu seperti ikan asin. Bagaimana Anda sebagai seorang seniman memberi tafsir?
Terus terang kami sendiri juga tidak begitu paham kenapa analoginya seperti itu, seni yang tidak jujur di ibaratkan sama dengan ikan asin. Kami sendiri suka makan nasi sambal dengan ikan asin, tapi tidak lantas kami tidak jujur dalam berkesenian. Bagi kami kejujuran dalam bermusik itu penting, tapi tidak sepenting bahwa karya seni, apapun itu, harus mampu menginspirasi manusia yang lainnya untuk menjadi benar. Karya seni yang bagus itu menawarkan nilai-nilai kebenaran.
+++
Biografi Singkat dan Diskografi DISTORSI AKUSTIK
Terbentuk di tahun 2007, awalnya bernama Left Wing. Sempat berganti – ganti formasi dan ditahun 2009, sepakat di pakailah nama Distorsi Akustik diambil dari bunyi distorsi dan suara clean pada gitar. Sinergi antara bisingpun juga sepi. Serupa dengan pro dan kontra, yin dan yang. Mengusung Post Grunge, Alternatif Pop dan Indie Pop. Usai merilis single berjudul EUPHORIA SURGA, sebuah senandung satir tentang radikalisme yang mengatasnamakan agama. Single yang turut mengisi track di mini album Puji Utamo dirilis dalam bentuk cakram padat bersamaan saat distorsi akustik menjalani tour bertajuk piknik akhir pekan, awal Agustus 2016 silam. Setelah ditahun sebelumnya tepatnya 7 Februari 2015, dirilis NetLabel Valetna Records.
Formasi terakhir adalah:
Viko Yudha Prasetya : Vox/Synthz
Taufik Adi : Bass
Hersa Dipta Putra : Gitar
Bahar Syafei : Gitar
Ragil Pamungkas : Drum
Sumber rilis berita : https://airputihku.wordpress.com/2016/10/14/distorsi-akustik-intoleransi-di-negeri-ini-sudah-jadi-penyakit/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Distorsi Akustik

Distorsi (overdrive) yang bersinergi, melangkah selaras dengan Akustik (clean) dalam ruang bunyi gitar, tak ubahnya dunia. Bisingpun juga sepi.

"Distorsi Akustik" band Semarang since 2007

Contact for Bussines : WA | 085-739-335-978 |